Bimastyaji Surya Ramadan's

Portfolio
Rawa buatan (Constructed Wetlands) merupakan sebuah komplek rancangan manusia yang terdiridari substrat, tanaman, hewan, dan air yang meniru rawa alami untuk kegunaan dan keuntungan manusia (Hammer, 1989). Ditinjau dari fungsirawa buatan yang pada umumnya digunakan bagi keperluan pengolahanair tercemar, rawa buatan dapat didefinisikan sebagai ekosistem rawabuatan manusia yang didesain khusus untuk memurnikan air tercemardengan mengoptimalkan proses-proses fisika, kimia, dan biologi dalams uatu kondisi yang saling berintegrasi seperti yang biasanya terjadi dalam sistem rawa alami.

Sistem pengolahan Constructed Wetlands adalah sistem rekayasa yang telah didisain dan dibangun dengan memanfaatkan proses alamiah yang melibatkan tumbuhan, tanah, dan kumpulan mikrobia yang saling berhubungan untuk membantu pengolahan limbah cair. (Vymazal, 1998). Menurut Hammer, (1986) pengolahan limbah Sistem Constructed Wetlands didefinisikan sebagai sistem pengolahan yang memasukkan faktor utama, yaitu :
a. Area yang tergenangi air dan mendukung kehidupan tumbuhan air sejenis hydrophyta.
b. Media tempat tumbuh berupa tanah yang selalu digenangi air (basah).
c. Media bisa juga bukan tanah, tetapi media yang jenuh dengan air.

Sejalan dengan perkembangan ilmu dan penelitian, maka definisi tersebut disempurnakan oleh (Metcalf & Eddy, 1993), menjadi “Sistem yang termasuk pengolahan alami, dimana terjadiaktivitas pengolahan sedimentasi, filtrasi, transfer gas, adsorpsi, pengolahan kimiawi dan biologis, karena aktivitas mikroorganisme dalam tanah dan aktivitas tanaman”.

Pada prinsipnya Sistem Lahan Basah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
a. Lahan Basah Alamiah (Natural Wetlands)
Sistem ini umumnya merupakan suatu sistem pengolahan limbah dalam area yang sudah ada secara alami, contohnya daerah rawa. Kehidupan biota dalam Lahan Basah Alamiah sangat beragam. Debit air limbah yang masuk, jenis tanaman dan jarak tumbuh pada masing – masing tanaman tidak direncanakan serta terjadi secara alamiah.
b. Lahan Basah Buatan (Constructed Wetlands)
Sistem Pengolahan yang direncanakan, seperti untuk debit limbah, beban organik, kedalaman media, jenis tanaman, dll, sehingga kualitas air limbah yang keluar dari sistem tersebut dapat dikontrol/diatur sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembuatnya.

Gambar 1 Mekanisme penghilangan polutan
Sumber : Kajumulo, 2008

Menurut (Suriawiria, 1993) klasifikasi Lahan Basah Buatan (Constructed Wetlands) berdasarkan jenis tanaman yang digunakan, terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :
1. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta mengambang atau sering disebut dengan Lahan Basah sistem Tanaman Air Mengambang (Floating Aquatic Plant System).

Gambar 2 Floating Aquatic Plant System
Sumber : Victor, et al., 2002 

2. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta dalam air (Submerged) dan umumnya digunakan pada sistem Lahan Basah Buatan tipe Aliran Permukaan (Surface Flow Wetlands).


Gambar 3 Surface Flow Wetlands
Sumber : Victor, et al., 2002

3. Sistem yang menggunakan tanaman makrophyta yang akarnya tenggelam atau sering disebut juga amphibiuos plants dan biasanya digunakan untuk Lahan Basah Buatan tipe Aliran Bawah Permukaan (Subsurface Flow Wetlands) 

 
Gambar 4 Subsurface Flow Wetlands
Sumber : Victor et al, 2002 

Constructed wetlands juga dapat digolongkan sesuai dengan hidrolik dan sistem alirannya. Tiga jenis utama dari Constructed Wetlands yang umum digunakan akan dideskripsikan di bawah. Di semua kasus suatu lapisan plastik atau lempung biasanya dipergunakan untuk mencegah limbah cair merembes atau mengalami infiltrasi bawah tanah ke dalam system (Cooper, et, al., 1999).

Free Water Surface (FWS) Constructed Wetlands meniru rawa alami yang mempunyai area air yang terbuka dan area dari macrophytesapung, tenggelam atau tumbuhan mencuat yang dapat berada di lahan basah FWS. Sistem ini juga disebut Surface Flow Wetlands. Free Water Surface/ surface flowhampir sama dengan aerobic ponds, biasanya dangkal dan mempunyai aliran air melalui atas dari tumbuhan.   

Gambar 5 Free Water Surface Constructed Wetlands
Sumber : Gauss, 2008 
 


Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands terdiri dari lapisan kerikil atau endapan kasar yang ditanam dengan macrophytes yang mencuat. Air dipertahankan di bawah permukaan dari kerikil dan air mengalir secara horisontal melalui media dan akar tumbuhan dari area inlet ke area outlet. Sistem ini juga dikenal sebagai reed beds atau root zone method.

Ciri utama dari Horizontal Subsurface Flow adalah level permukaan air di bawah permukaan. Limbah cair mengalir secara horisontal melalui sebuah pori media tanah dimana vegetasi emergent plant ditanam, dan dimurnikan selama kontak dengan area permukan dari partikel tanah dan akar tanaman. Sistem ini meliputi lapisan yang tidak dapat ditembus atau material tanah di dasar untuk mencegah terjadinya pencemaran air tanah (Reed, 1995).

Berbeda dengan surface flow wetlands, tanah berkontribusi dalam proses pengolahan dengan menyediakan suatu luas permukan untuk perkembangan mikrobia dan adsorpsi pendukung dan proses filtrasi. Hal ini berakibatpada kebutuhan area yang lebih dikit dan umumnya kinerja perlakuan lebih tinggi per area dibandingkan free-water-surface wetlands (Farahbakh shazad, 1998).

Materi tanah sangat penting karena mempengaruhi kinerja hidrolik (daya konduksi dan distribusi limbah cair pada zona inlet) dan kecepatan penyisihan fosfor. Materi tanah meliputi kerikil, pasir atau liat berbutir lebih kecil dan tanah berlumpur bergantung kepada sistem hydrologic. Kebutuhan kritis adalah untuk mencapai keseragaman distribusi dari limbah cair (hydraulic loading) pada zona inlet yang mana berarti mencegah aliran permukaan dan pemakaian penuh dari treatment beduntuk memastikan kinerja pengolahan maksimum. Kedalaman tanah harus disesuaikan pada kedalaman dari penetrasi akar dan direkomendasikan di antara 0,3-0,6 m untuk banyak jenis tanaman. Di zona yang beriklim dingin kedalaman dari 0,8-0,9 m direkomendasikan untuk mencegah penetrasi beku (Reed, 1995; WPCF, 1990).

Sumber oksigen utama untuk sistem ini adalah transfer oksigen dalam zona akar oleh tanaman karena terbatasnya difusi oksigen dari atmosfer ke dalam umumnya tanah anaerobik (Brix, 1998; Reed, 1995). nyamuk dan bau biasanya bukan masalah sepanjang permukaan air dipelihara di bawah permukaan (Reed, 1995). Untuk mencegah clogging tanah direkomendasikan subsurface flow systems mendapat paling tidak pengolahan limbah cair primer. 

Gambar 2.7 menunjukkan Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands disebut Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands karena limbah cair dialirkan di inlet dan aliran secara perlahan melalui pori-pori substrat pada permukaan lapisan pada sedikit atau lebih bagian horizontal hingga ini mencapai zona outlet. Selama perjalanan,limbah cair ini akan mengalami kontak dengan jaringan pada zona aerobik, anoxic dan anaerobik. Zona aerobik akan berada di sekitar akar pada vegetasi wetlandsyang menyediakan oksigen ke dalam substrate. Selama perjalanan dari limbah cair melalui rhizosfer, limbah cair dibersihkan oleh degradasi mikrobiologi dan dengan proses fisik dan kimia (Cooper et al. 1996). Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands dapat secara efektif menyisihkan polutan organik (TSS, BOD5 dan COD) dari limbah cair. Sehubungan dengan terbatasnya oksigen di dalam Wetlands, penyisihan dari nutrien (terutama nitrogen) adalah terbatas, bagaimanapun, Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands menyisihkan nitrat pada limbah cair.

Gambar 6 Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands
Sumber : Gauss, 2008 

Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands terdiri dari lapisan pasir atau kerikil yang ditanam dengan macrophytes yang mencuat. Air didistribusikan pada permukaan lapisan kemudian mengalami perkolasi melalui media bawah ke zona outlet yang biasanya ditempatkan dibawah dari lapisan.

Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands ditandai satu aliran influent secara intermittent (discontinuous) yang meliputi periode mengisi dan mengistirahatkan dimana limbah cair mengalami perkolasi secara vertikal melalui lapisan tanah yang terdiri dari pasir, kerikil atau campuran dari kerikil dan pasir. Jenis tanaman yang utamadigunakan pada Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands adalah common reed (Phragmites australis) sehubungan dengan tanaman ini mempunyai penetrasi akar yang dalam dan sistem rizoma. Umumnya kedalaman dari lapisan tanah akan 0,5-0,8 m (Cooper, 1996).
Keuntungan dari Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands adalah peningkatkan transfer oksigen ke dalam lapisan tanah. Di samping oksigen masuk melalui tanaman dan proses difusi yang keduanya juga terjadi di dalam Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands, Vertical Subsurface Flow menunjukkan masuknya oksigen secara signifikan ke dalam tanah melalui pemindahan gas yang disebabkan oleh influen yang mengalir secara intermittent dan drainase (Platzer, 1998).
Dibandingkan dengan Horizontal Subsurface Flow, penambahan aerasipada tanah oleh proses convective menyebabkan kapasitas nitrifikasi lebih tinggi seperti halnya penyisihan dari bahan organic. Namun, denitrifikasi memerlukan kondisi anoxic biasanya lebih rendah pada Vertical Subsurface Flow dibandingkan Horizontal Subsurface Flow (Bahlo, 1995).Vertical Subsurface Flow juga kurang efektif untuk menyisihkan suspended solids dibandingkan Horizontal Subsurface Flow and Subsurface flow beds (Vymazal, 2001a). Vertical Subsurface Flow telah dikembangkan dengan intermittent loading. alasan yang menjadi daya tarik dalam menggunakan Vertical Subsurface Flow adalah:
  • Vertical Subsurface Flow mempunyai kapasitas transfer oksigen yang lebih besar untuk menghasilkan nitrifikasi yang baik;
  • Vertical Subsurface Flow sangat lebih kecil dibandingkan sistem Horizontal Subsurface Flow,
  • Vertical Subsurface Flow dapat menyisihkan BOD5, COD dan pathogens secara efisien.

Gambar 7 Vertical Subsurface Flow Constructed Wetlands
Sumber : Gauss, 2008

Daftar Pustaka


Bahlo, K., Wach, G. 1995. Naturnahe Abwasserreinigung - Planung und Bau von Pflanzen-kläranlagen Ökobuch Verlag. Staufen bei Freiburg. 3th. Edition
Cooper, P. 1999. A Review of the Design and Performance of Vertical-Flow and Hybrid Reed Bed Treatment Systems. Water Science and Technology 40(3): 1-9
Eckenfelder W. Weslwy,1989, Industrial Water Pollution Control, Second Edition, McGraw-Hill Book Company.
Farahbakhshazad, N, Morrison, G.M. 1998. Subsurface Macrophyte Systems in Wastewater Treatment. Vatten, 54: 41 – 51
Gadjah Mada University Press: Yogyakarta
Gauss, Martin. 2008. Constructed Wetlands: A Promising Wastewater Treatment System for Small Localities. Gráfica Biblos : Peru
Halverson, Nancy V. 2004. Review of Constructed Subsurface Flow vs. Surface Flow Wetlands, U.S. Department of Energy, Springfield: USA
Hammer, D.A. (ed). 1989. Constructed Wetlands for WastewaterTreatment: Municipal, Industrial and Agricultural. Lewis Publishers,Inc: Chelsea, Michigan
Kajumulo, Anna. 2008. Constructed Wetlands Manual. United Nations Human Settlements Programme
Khiatuddin, M. 2003. Melestarikan Sumber Daya Air Dengan Teknologi Rawa Buatan.
Metcalf & Eddy. 1993. Wastewater Engineering Treatment Disposal Reuse, McGraw-Hill, Inc : New York
Platzer, C. 1998. Entwicklung eines Bemessungsansatzes zur Stickstoffelimination in Pflanzenkläranlagen Dissertation, Institut für Siedlungswasserwirtschaft. TU : Berlin
Reed S.C., Crites R.W., Middlebrooks E.J. 1995. Natural Systems for Waste Management and Treatment. 2nd ed., McGraw-Hill Inc: New York
Suriawiria, U. 1993. Mikrobiologi Air,.Penerbit Alumni: Bandung
Tchobanoglous, George dan Franklin L. Burton, 2003, Wastewater Engineering Treatment, Disposal and Reuse fourth edition, Mc. Graw Hill Inc, Singapore
Vymazal J., Brix H., Cooper P.F., Green M.B., Haberl R. 1998. Constructed Wetlands for Wastewater Treatment in Europe. Backhuys Publishers: Leiden
Masih menjadi perdebatan bagaimana mendefinisikan logam berat di kalangan para ahli, tetapi bagaimana pun bentuk pengklasifikasiannya, logam berat merupakan salah satu unsur yang berbahaya dan beracun apabila laju pencemarannya di lingkungan tidak dikendalikan (Adal et al, 2015). Logam berat diketahui tidak memilki manfaat bagi tubuh makhluk hidup walaupun sebenarnya pada prakteknya di lapangan, logam berat sangat bermanfaat untuk mendukung aktivitas manusia.

Timbal menyebabkan keprihatinan khususnya karena memiliki kemungkinan yang besar terhadap anak-anak. Timbal dapat mempengaruhi sistem saraf dan memperlambat respon. Ini mempengaruhi kemampuan belajar dan perilaku. Anak-anak dapat terkena timbal secara langsung sejak kelahiran mereka, karena menerima timbal dari ibu mereka melalui darah. Anak-anak juga dapat terkena untuk timbal melalui debu dan tanah yang terkontaminasi oleh terdeposisi di udara dan sumber lainnya. Timbal di lingkungan diketahui dapat menjadi racun bagi tanaman, hewan dan mikroorganisme. Efek dari pencemaran timbal umumnya terbatas pada daerah yang terkontaminasi.


Timbal adalah elemen logam milik kelompok IV A dari Tabel Periodik ( nomor atom : 82 , dan massa atom relatif : 207,2 ). Seperti dirangkum oleh US EPA (1998 ), timbal murni berupa logam putih keperakan yang mengoksidasi dan berubah biru abu-abu bila terkena udara. Timbal cukup lunak untuk tergores dengan kuku. Timbal berbentuk padat (11,3 g / cm3), mudah dibentuk, dan mudah melebur. Sifat-sifatnya yang lain meliputi: titik leleh rendah; ditempa; ulet; mudah untuk melemparkan; kepadatan tinggi; kekuatan rendah; mudah untuk bereaksi; tahan asam; reaksi elektrokimia dengan asam sulfat; stabilitas kimia di udara, air dan bumi; dan kemampuan untuk melemahkan gelombang suara, radiasi dan getaran mekanik pengion. Timbal mengeras karena adanya paduan dengan sejumlah kecil arsenik, tembaga, antimony, atau logam lainnya. Paduan ini sering digunakan dalam pembuatan berbagai produk yang mengandung timah.

Timbal secara alami terdapat sebagai timbal sulfida, timbal karbonat, timbal sulfat dan timbal klorofosfat (Faust & Aly, 1981). Kandungan Pb dari beberapa batuan. Kerak bumi sangat beragam. Batuan eruptif seperti geranit dan riolit memiliki kandungan Pb kurang lebih 200 ppm. Timbal (Pb) merupakan logam yang bersifat neurotoksin yang dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh manusia ataupun hewan, sehingga bahayanya terhadap tubuh semakin meningkat. Timbal merupakan salah satu logam berat yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan mutasi, terurai dalam jangka waktu lama dan toksisistasnya tidak berubah. Pb dapat mencemari udara, air, tanah, tumbuhan, hewan, bahkan manusia. Masuknya Pb ke tubuh manusia dapat melalui makanan dari tumbuhan yang biasa dikonsumsi manusia seperti padi, teh dan sayur-sayuran. Logam Pb terdapat di perairan baik secara alamiah maupun sebagai dampak dari aktivitas manusia. Logam ini masuk ke perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Selain itu, proses korofikasi dari batuan mineral juga merupakan salah satu jalur masuknya sumber Pb ke perairan.


Sumber dan Emisi
Pelepasan timbal ke biosfer dapat dikelompokkan ke dalam kategori berikut :
•  Sumber alami – pelepasan timbal karena mobilisasi yang terjadi secara alamiah dari dalam kerak bumi dan mantel, seperti aktivitas vulkanik dan pelapukan batuan;
•  Sumber antropogenik (yang terkait dengan aktivitas manusia) pelepasan dari mobilisasi timbal pengotor dalam bahan baku seperti bahan bakar fosil - terutama bijih, batubara dan diekstraksi, yang diperlakukan dan didaur ulang oleh mineral lainnya;
•  Pelepasan antropogenik yang dihasilkan dari timah yang digunakan secara sengaja dalam produk dan proses, karena pelepasan oleh manufaktur, penggunaan, pembuangan atau pembakaran produk;


Timbal di Lingkungan
Sebagai akibat dari titik leleh unsur timbal yang cukup tinggi di 328°C dan titik didih 1.750°C , unsur timbal akan tersimpan pada permukaan atau ada di atmosfer sebagai komponen aerosol atmosfer pada suhu atmosfer ambien. Di atmosfer, timbal ada dalam bentuk PbSO4 dan PbCO3 (US ATSDR, 2005). Waktu tinggal dan transportasi timbal di atmosfer terkait dengan karakteristik aerosol .

Di dalam lingkungan air, timbal berbentuk ionik (sangat bebas dan bioavailable), kompleks organik dengan bahan humus terlarut (mampu mengikat agak kuat dan ketersediaan batas) , yang melekat pada partikel koloid seperti oksida besi (sangat terikat dan kurang mampu bergerak bila tersedia dalam bentuk oksida daripada ketika menjadi ion-ion bebas), atau menjadi partikel padat dari tanah liat atau mati sisa-sisa organisme (pergerakan dan ketersediaan sangat terbatas).Spesi timbal di lingkungan air dikendalikan oleh banyak faktor, seperti : pH, salinitas, serapan dan proses biotransformasi. Timbal biasanya hadir di lingkungan perairan asam sebagai PbSO4, PbCl4, timbal ionik, bentuk kationik dari hidroksida timbal dan hidroksida biasa Pb(OH)2.

Secara umum, memimpin tidak sangat mobile di tanah. Gerakan ke bawah dari unsur timbal dan senyawa timbal anorganik dari tanah ke air tanah oleh pencucian sangat lambat dalam kondisi alam yang paling (NSF, 1977, sebagaimana dikutip oleh AS ATSDR, 2005). PH tanah, kandungan asam humat dan jumlah bahan organik mempengaruhi isi dan mobilitas timbal dalam tanah (Hansen et al., 2004a). Selanjutnya, Hansen et al. (2004a) menyatakan bahwa hanya sebagian kecil dari timbal dalam tanah hadir dalam larutan, yang merupakan sumber langsung untuk memimpin di akar tanaman; pengasaman tanah, bagaimanapun, terkait dengan meningkatnya mobilitas dan bioavailabilitas timbal. Kondisi yang lebih asam (pH rendah) tidak hanya meningkatkan kelarutan timbal, tetapi juga dari logam berat lainnya.

Fakta bahwa asam yang relatif terkonsentrasi, zat pereduksi, oksidator, atau chelating agen yang diperlukan untuk membebaskan sebagian besar memimpin dari tanah digunakan sebagai satu baris bukti yang mengarah migrasi dan serapan oleh tanaman di tanah diharapkan menjadi rendah (US EPA, 2005). Penyerapan rendah pada tanaman menghasilkan konsentrasi yang relatif rendah timbal dalam bahan makanan. Timbal sangat diserap untuk bahan organik dalam tanah. Lempung, silts, besi dan oksida mangan, dan bahan organik tanah dapat mengikat timbal dan logam lainnya elektrostatis (tukar kation) serta kimia (adsorpsi spesifik) (US ATSDR, 2005). Terserap memimpin dalam matriks tanah dapat memasukkan air permukaan sebagai akibat dari erosi yang mengandung timbal partikel tanah.


Efek Terhadap Manusia
Timbal dalam bentuk anorganik dan organik memiliki toksitas yang sama pada manusia. Misalnya pada bentuk organik seperti tetraetil-timbal dan tetrametiltimbal (TEL dan TML). Timbal dalam tubuh dapat menghambat aktivitas kerja enzim. Namun yang paling berbahaya adalah toksitas timbal yang disebabkan oleh gangguan absorbsi kalsium Ca. Hal ini menyebabkan terjadinya penarikan deposit timbal dari tulang tersebut

Timbal adalah logam toksik yang bersifat kumulatif sehingga mekanisme toksitasnya dibedakan menurut beberapa organ yang dipengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1.    Sistem hemopoeitik : timbal akan mengahambat sistem pembentukan hemoglobin sehingga menyebabkan anemia
2.    Sistem saraf pusat dan tepi : dapat menyebabkan gangguan enselfalopati dan gejala gangguan saraf perifer
3.    Sistem ginjal  : dapat menyebabkan aminoasiduria, fostfaturia, gluksoria, nefropati, fibrosis dan atrofi glomerular
4.    Sistem gastro-intestinal : dapat menyebabkan kolik dan konstipasi

Teknologi Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran
Metode khusus untuk mengendalikan pelepasan timbal dari sumber-sumber ini pada umumnya di bagi menjadi empat kelompok berikut:

•    Mengurangi konsumsi bahan baku dan produk yang mengandung timbal sebagai pengotor;
•    Mengganti ( atau menghapus ) produk, proses dan praktek yang mengandung atau menggunakan timbal dengan alternatif bebas timbal;
•    Mengontrol pelepasan timbal melalui teknologi proses emisi rendah dan pembersihan gas dan air limbah ;
•    Manajemen limbah yang mengandung timbal


Referensi
Adal, Adefris et al. 2015. Heavy Metal Toxicity: Background, Pathophysiology, Epidemiology. Article.http://emedicine.medscape.com/article/814960-overview

US EPA. 1999. Contaminant persistence and mobility factors. The Class V Underground Injection Control Study, Appendices E. United States Environmental Protection Agency, Office of Ground Water and Drinking Water.
US EPA. 2005. Preliminary exposure assessment support document for the TSCA section 21 petition on lead-balancing weights. United States Environmental Protection Agency.

US ATSDR. 2005. Toxicological profile for lead. (Draft for Public Comment). U.S. Department of Health and Human Services. Public Health Service. Agency for Toxic Substances and Disease Registry, Atlanta, U.S.A.

Based on Liam Doherty at al (2015) review, Constructed Wetland Microbial Fuel Cells (CM-MFC) is a recently emerged technology for treating wastewater and generating electricity. MFC utilize substrate to generate electricity and it can be supported by microorganism that is applied in rhizospere of constructed wetland. Constructed wetland is known as technology which can remove pollutant such as nitrogen (nitrate, nitrite, and ammonia), phosphorus, and even heavy metals. So do MFC, can treat both chemical oxygen demand (COD) and harmful contaminant in wastewater. 

Sediment microbial fuell cell (SMFC) which has been developed before microbial fuel cells use plant (Plant MFC) to get higher voltage, moreover, currently it shows a promising bioenergy because it can generate electricity to power mini fan and biosensor in somewhere lake in US.


There are a lot of studies to improving this technology performance. Many researcher have been made some different design knowing the best configuration to treating the fuel and generating electricity. Present study give an information that combination of Constructed Wetland and Microbial Fuel Cell can work effectively if we use suitable material for each part of microbial fuel cell (anode, cathode, or separator).


Oon et al (2015) in their research showing best voltage of upflow constructed wetland microbial fuel cell (UFCW-MFC) when electrode (anode and cathode) spacing was small (in this research, 15 cm of space required). Maximum power density was 6,12 mW/m2, respectively. Nitrate and ammonium can be removed for about 40% and 91%. Aeration have done to control the aerobic and anaerobic regions of the system. They use carbon felt electrodes which have 280 cm2 of surface area and inoculated in the mixed culture sludge. This sophisticated design give a new paradigm that microbial fuel cells can be applied with upflow constructed wetland.

Different study (Lu et al, 2015) focused on how microbial consortia in anode side can improve the wetland microbial fuel cell performance. Associated with Canna indica, bacterial and archaeal communities can produce maximum current of 106 mA/m2 by utilizing fuel as electron donor and another nutrient contained in rhizospere. That association is called syntrophy which positively give better performance of microbial fuel cells. But there is another syntrophy which can be limit the growth condition of microbial consortia especially oligotrophic bacteria. That is competition between denitrifying bacteria or methanogens which produce an electron acceptor that can decrease the current production.

 

This review proof me something that microbial fuel cells and constructed wetland are suitable to be applied in Indonesia in which many treatment plants applicate wetlands to treat wastewater. Microbial fuel cells is also being developed in lab-scale and is still few research on it. This chance need to be explored, especially to increase pollutant removal effieciency, and further to generate electricity. This field of study still rare to be found in Indonesia. Many renewable energy researcher still focus on biodiesel and another bioconversion of waste. Constructed wetland microbial fuel cell can be a compromising technology which have viable cost, generate electricity, and high efficiency removal. This ‘power plant’ is a green energy that this country needed.


References :
Oon Yoong-Ling, Soon-An Ong, Li-Ngee Ho, Yee-Shian Wong, Yoong-Sin Oon, Harvinder Kaur Lehl, Wei-Eng Thung. 2015. Hybrid system up-flow constructed wetland integrated with microbial fuel cell for simultaneous wastewater treatment and electricity generation. Bioresource Technology 186 (2015) 270–275. Malaysia.
Lu Lu, Defeng Xing, Zhiyong Jason Ren. 2015. Microbial community structure accompanied with electricity production in a constructed wetland plant microbial fuel cell. Bioresource Technology 195 (2015) 115–121. China.
Liam Doherty, Yaqian Zhao, Xiaohong Zhao, Yuansheng Hu, Xiaodi Hao, Lei Xu, Ranbin Liu. 2015. A review of a recently emerged technology: Constructed wetland - Microbial fuel cells. Journal of Water Research 85 (2015) 38-45. University College Dublin : Dublin.  
 Barang-barang Darun yang paling banyak!!
 Sesaat sebelum berangkat ke airport
 penampakan aerobas, tuh yg warna kuning
 Afid meninggalkan jejak
 KL Sentral
 Peta transit (LRT)
 Pertunjukkan air di twin tower, selalu dinyalakan setiap jam 8, 9 10 (satu kali pertunjukan cuma 5 menit doang)
 Bukit bintang
 Nas warteg ala bukit bintang
 mail putihan ya?
 Serenity hotel di bukit bintang
hayoo dika sms siapa nih??

to be continued...............
Buat yang mau jalan-jalan, backpack atau travelling ke Malaysia-Singapore, mungkin post ini bisa membantu :)

FYI Tiket PP Tigerair Jakarta Malaysia : 250ribu rupiah

Selasa, 4 Maret 2014
Jadwal
04.00 sampai di bandara, check in, makan
05.20 berangkat ke Changi Airport (waktu Indonesia)
08.00 sampai di Changi Airport (waktu Singapore-Malaysia)
10.20 berangkat ke Kuala Lumpur, malaysia
11.30 sampai di KLIA, istirahat
12.30 berangkat ke KL Sentral
14.30 sampai di Serenity hostels
16.00 makan siang di bukit bintang
16.30 jalan-jalan ke KLCC lewat skybridge
17.00 sampai KLCC, pavilion, twin tower, foto2
20.00 nonton pertunjukkan musik air di belakang twin tower.
21.00 shalat maghrib lanjut shalat isya
22.30 pulang
23.30 sampai hostel
Pengeluaran
Makan pagi KFC 22ribu rupiah
Iuran Bagasi 21ribu rupiah
Tiket kereta Semarang-Jakarta 80ribu rupiah
Aerobus 8 RM
Rapid KL 2,1 RM
Makan siang nasi lemak + tea o ice 4 RM
Es air mata kucing 2 RM
Makan malam 6 RM
Air Sirap 2 RM

Rabu, 5 Maret 2014
Jadwal
06.00 bangun shalat subuh, mandi
09.00 berangkat keliling go KL Purple Line
10.30 pulang ke hostel, istirahat
12.00 Check out, beli makanan di Sevel, berangkat ke pasar seni naik Go KL
13.30 kampung india
15.30 KL City Gallery
16.00 pasar seni buat naik bis ke KL Tower
18.00 berangkat naik GO KL green line
18.30 jalan lewat twin tower ke stasiun LRT
20.00 Beli tiket LRT, berangkat ke TBS via masjid jamek, arah sri Petaling
21.00 beli tiket bis di TBS
22.00 menunggu di TBS
23.45 pergi ke Singapore
Pengeluaran
Makan nasi beriyani 5 RM
Beli minum 2,8 RM
Beli air isi ulang 50 sen
MRT 3,3 RM
Beli tiket bis di TBS 40 RM
makan roti dan sosis di TBS 4 RM

Kamis, 6 Maret 2014
Jadwal
04.00 transit di perbatasan malaysia
04.10 checkpoint di perbatasan Singapore, menunggu bis CW2 karena ketinggalan
06.00 naik bis CW2
06.45 shalat subuh di masjid sultan, istirahat
09.25 berangkat makan
10.30 cari hostel titip tas
10.45 pergi beli STP ke bugis
11.00 beli tiket, naik SMRT
12.00 Jalan-jalan di Orchard
12.30 naik bis keliling Singapore
14.30 Little India, check in, istirahat
19.30 Marina bay, merlion park
22.30 Pulang ke little india naik MRT
22.30 Istirahat, tidur
Pengeluaran
Tiket bis CW2 2,5 $
Hostel 20 $
Singapore Tourist Pass 26 $
Makan malam 2,5 $
Bagasi 3 $

Jumat, 7 Maret 2014
Jadwal
06.00 Bangun, shalat, siap2
09.00 breakfast
10.30 berangkat naik SMRT
11.20 sampai bayfront, garden by the bay
13.30 naik SMRT turun Chinatown
14.00 Shalat jumat
14.30 makan, ketemu bang Jack dan mbak Vera
16.00 berangkat ke USS
18.00 berangkat ke bugis
18.30 sampai di bugis, shalat
22.00 naik bis ke Larkin
23.30 sampai Larkin, shalat, oper bis ke TBS
Pengeluaran
Tiket USS 1 $
Makan siang di chinatown 2 $
Oleh-oleh 30 $
Tiket bis 170 ke Johor Baru 2,2 $
Tiket bis dari Larkin ke TBS 35 RM

Sabtu, 8 Maret 2014
Jadwal
01.00 berangkat dari Larkin
04.00 sampai TBS, istirahat dan mandi
09.30 berangkat ke KL Sentral naik MRT
10.00 oper MRT ke bukit bintang
11.00 keliling Malaysia naik Go KL
12.30 makan siang di nasi beriyani
13.30 shalat di masjid Jamek
15.00 bertemu di pasar seni, belanja
17.00 selesai belanja, ke fahrenheit dan pavilion
19.00 makan di bukit bintang
21.00 naik MRT ke KL sentral tunggu bis
22.30 berangkat ke airport LCCT
23.30 sampai bandara
Pengeluaran
Makan pagi nasi lemak 2,9 RM
MRT dari TBS-KL Sentral 1,1 RM
MRT dari KL sentral - Bukit Bintang 2,1 RM
Penitapan tas 3 RM
MRT dari Bukit Bintang - KL sentral 2,1 RM
Oleh-oleh 22,5 RM
Tiket Bis aerobus KLIA-TBS 8 RM

Minggu, 9 Maret 2014
Jadwal
00.00 menunggu di bandara
16.00 pesawat berangkat dari LCCT ke Jakarta (waktu Singapore-Malaysia)
17.00 pesawat tiba di Jakarta (waktu Indonesia)
Pengeluaran
Iuran Bagasi 8 RM (70 RM/15 kg)
Makan Pagi 4,5 RM
Makan donkin donut 2,5 RM
Tiket kereta Jakarta-Semarang 93ribu

Total Pengeluaran
Rupiah : Rp. 466.000,-
Ringgit : 220,9 RM kurs Rp. 3600,- (Rp. 796.000,-)
Dollar Singapore : 89,2 $ kurs Rp. 9.400,- (Rp. 838.000,-)
Total : Rp. 2.100.000,-
Previous PostOlder Posts Home